Senin, 22 Oktober 2012

Cegah Keracunan Makanan Saat Hamil



Ketika hamil, Anda harus lebih memperhatikan makanan yang dikonsumsi setiap harinya. Dengan begitu Anda dapat menjaga diri dan janin dalam kandungan terhadap keracunan makanan.
Keracunan makanan bisa diakibatkan bakteri, seperti salmonella dan listeria. Bakteri ini bisa berdampak buruk terhadap janin dalam kandungan. Nah, agar calon bayi dalam kandungan tetap sehat, berikut beberapa makanan yang 'wajib' dipantang untuk sementara waktu:

- Keju yang soft mold-ripened (Brie dan Camembert), keju yang tidak dipasteurisasi atau dipanaskan sampai suhu 80ÂșC (seperti pada kebanyakan Parmesan), serta keju blue-veined (Stilton dan Danish Blue), sebab bisa menjadi tempat berlabuhnya listeria. Keju Cheddar dan keju cottage boleh tetap dikonsumsi karena aman.

- Salad dalam kemasan, seperti salad daging dengan dressing dan sebagainya, yang dijual dalam lemari berpendingin di toko atau restoran.

- Telur mentah atau setengah matang dan makanan yang menggunakan telur dalam keadaan seperti itu, misalnya mayonnaise buatan sendiri dan tiramisu, sebab bisa mengandung salmonella.

- Daging mentah atau setengah matang, dan susu yang tidak pasteurisasi untuk menghindari toksoplasmosis (parasit yang bisa menyebabkan infeksi).

Jumat, 19 Oktober 2012

Kenapa Rambut Bisa Rontok Usai Melahirkan



Sekitar 90% rambut Anda akan tumbuh kapan pun, sedangkan 10% sisanya akan memasuki fase istirahat. Setiap 2 – 3 bulan, rambut yang istirahat itu akan rontok, lalu digantikan rambut baru.

Nah, rambut rontok yang berkaitan dengan kehamilan biasanya terjadi setelah Anda melahirkan. Selama hamil, jumlah rambut yang memasuki fase istirahat memang meningkat secara drastis. Jangan khawatir, kondisi ini tidak akan membuat rambut Anda rontok habis-habisan. Bahkan, 3-4 bulan setelah kelahiran, jumlah rambut yang rontok akan berkurang.

Meningkatnya hormon selama hamil membuat rambut Anda tidak rontok atau tertunda untuk sementara rontoknya. Setelah melahirkan, hormon tersebut kembali ke kadar normal, sehingga rambut pun mulai rontok untuk nantinya kembali ke siklus normal.

Karena rambut tidak rontok selama hamil, tidak heran rambut Anda rontok sekaligus banyak setelah melahirkan. Yang pasti, rontoknya rambut Anda ini sifatnya sementara. Dalam 6-12 bulan, rambut Anda akan kembali ke siklus normal.

Tes Kehamilan, Mana Paling Efektif?



Tes kehamilan dilakukan untuk mendeteksi adanya hormon khusus dalam urin atau darah wanita yang miliki gejala hamil. Hormon itu dikenal sebagai hCG (human Chrionic Gonodotropin).

Seseorang dikatakan hamil bila kadar hormon hCG Anda di atas 25 mIU/ml. Kadar hormon hCG akan naik secara drastis sepanjang kehamilan. Untuk memastikan kehamilan, ada beberapa jenis tes, yaitu:

Urin
Agar hasilnya tepat, sebaiknya urin yang diperiksa adalah urin pertama kali dikeluarkan di pagi hari sebelum minum apapun. Mengapa begitu? Cairan yang Anda minum bisa melarutkan hormon hCG. Selain itu, hormon kehamilan paling banyak terkumpul setelah Anda tidak makan atau minum selama beberapa jam sebelumnya.
Anda bisa menjalani tes urin, antara lain dengan menggunakan home pregnancy test, berbentuk stick atau strip. Tes ini akan lebih akurat hasilnya jika dilakukan sekitar 14 hari setelah ovulasi (saat sel telur dilepaskan dari indung telur).
Selain itu, tes urin bisa dilakukan di laboratorium. Urin yang ditampung dalam wadah bersih diperiksa di laboratorium. Dalam beberapa menit, hasil bisa langsung di dapat. Catatan: Tingkat akurasinya tinggi.

Darah
Kehamilan bisa dideteksi bila tes dilakukan sekitar 10 hari setelah ovulasi. Tes Beta hCG (quantitative blood test) ini berguna untuk mengukur jumlah tepat hCG dalam darah. Catatan: Pemeriksaan ini lebih sensitif, sehingga kadar hCG di bawah 25 mIU/ml pun bisa dideteksi. Namun biayanya lebih mahal.

Rabu, 19 September 2012

Cara Mudah Kurangi Stres

Kurangi stres saat hamil
Kami tahu: Kehamilan yang bebas stres sepertinya tak mungkin. Tapi, stres terus-menerus bisa mem-buat hormon berbahaya seperti kortisol masuk ke plasenta,” ujar Diana Dell, M.D., asisten profesor klinis di bagian obstetri dan ginekologi pada Duke University. Dan penelitian menunjukkan, ini bisa meningkatkan risiko kelahiran prematur, bayi lahir dengan berat rendah, atau masalah belajar dan perilaku pada anak kelak. Untuk membantu Anda tetap tenang:

  • Minta bantuan pasangan. Pijatan dari orang tersayang bisa mengurangi tingkat hormon stres.
  • Olahraga deh. Jalan cepat atau renang bisa meredakan ketegangan dengan dilepaskannya endorfin dalam tubuh, yang meningkatkan mood.
  • Tekan tombol play. Entah itu Bach atau Bon Jovi, mendengarkan musik favorit bisa memberikan rasa damai.
  • Sayangi hewan piaraan Anda. Hormon yang ‘membuat rasa senang’ seperti serotonin meningkat saat Anda mengelus-elusnya.
  • Katakan “ohm…” Melakukan meditasi, atau berlama-lama di bawah shower, akan membantu Anda menemukan ketenangan.
  • Ambil jarum – atau sekop. Gerakan berulang, seperti merajut atau berkebun, membuat Anda relaks karena Anda tahu benar cara melakukannya dan membuat otak Anda menjalankan fungsi autopilot alias bekerja secara otomatis.

Hamil di Usia Rawan


Kehamilan adalah pengalaman yang indah nan ajaib. Tapi kalau terjadi ’tanpa diduga’, pasti ceritanya jadi lain – meskipun tetap ajaib. Apalagi kalau itu sudah ke-4 kali, dan di usia yang sudah tak lagi muda.
Diana Damayanti, atau biasa dipanggil “Mbak Dante”, redaktur pelaksana Parenting Indonesia, berbagi pengalaman melahirkan di atas usia 40 tahun. Ikuti kisahnya… 

Dikira mau menopause dini
Saat usia menginjak 43 tahun, dan bungsu saya 14 tahun (yang sulung saat itu sudah remaja, 18 tahun), saya mendapat kepastian positif hamil. Wah… perasaan langsung campur aduk. Orang mengira, kami memang merencanakan hal ini. Maklum, 3 anak kami perempuan semua. Tapi kalau ada yang bertanya, selalu saya jawab, “Nggak, ini nenek-nenek kecelakaan.” Selama ini siklus menstruasi saya teratur, jadi kami tidak pernah pakai alat-alat kontrasepsi, cuma sistem kalender. Setelah berusia 40-an, saya mengira sudah tidak subur lagi. Waktu saya mulai terlambat menstruasi, teman saya malah bilang, “Mbak, mau menopause dini, kali...” Eh, ternyata… hamil!
Hamil di atas 40 tahun memang bukan tanpa risiko. Herannya, di saat orang lain mencemaskan, saya malah tenang-tenang saja. Memang, anak saya sudah tiga. Saya bekerja fulltime, dan saya aktif di banyak kegiatan di sekolah anak-anak. Mana usia sudah 43 tahun. Mungkin mereka pikir, apa masih tersisa tenaga untuk menjalani kehamilan? Reaksi dokter kandungan saya lain lagi. “Ibu, benar positif,” begitu katanya selesai melakukan pemeriksaan dalam. “Ibu sehat, kan?” Saya jawab, “Ya… Alhamdulillah saya sehat, dok.” “Ibu nggak akan membuang janin ini, kan?” tanya dia lagi. “Ya nggak-lah Dok. Masa’ udah dikasih sama Tuhan mau dibuang?” jawab saya.

Nyaris tanpa gangguan fisik
Beruntung, nyaris tidak ada gangguan selama kehamilan ini. Memang terdeteksi placenta previa, tapi sampai kehamilan bulan ke-8, saya tetap bekerja seperti biasa. Malah pernah dua minggu berturut-turut saya tugas ke Banjarmasin dan Medan untuk seminar. Artinya, ada waktu-waktu kami bekerja sampai tengah malam mempersiapkan ruangan dan sebagainya
Nah, untuk menjaga kondisi badan tetap fit, saya lebih memperhatikan pola makan. Waktu itu saya masih kerja di Majalah Ayahbunda. Teman-teman sangat cerewet mengawasi apa-apa yang saya makan. Tongseng, yang paling saya sukai, saya hindari karena takut kena darah tinggi. Susu kedelai dan buah saya konsumsi tiap hari. Dan kalau lelah, saya segera istirahat.”

Operasi Caesar yang menegangkan
Menjelang melahirkan, dokter kandungan saya sakit keras. Jadi saya di bawah pengawasan kakak saya, yang juga dokter kandungan, bersama temannya. Menurut dia, sampai akhir kehamilan, placenta tetap menutupi jalan lahir. Jadi, saya harus operasi Caesar. Padahal, semua kakaknya lahir secara normal. Saya heran, kok saya takut sekali. Semalaman itu saya tidak bisa tidur. Saya kirim SMS ke semua nama yang ada di memory handphone saya, minta doa supaya operasi saya besok berjalan baik. Malam itu, sampai jam 23.30 saya tidak tidur juga. “Ibu besok operasi, sekarang Ibu harus tidur!” kata suster jaga. Tapi ya bagaimana, saya takut sekali.
Akhirnya masuk SMS dari suster bekas kepala sekolah saya ketika di SMA dulu, “Kami semua di biara mendoakan kamu,” tulisnya. Apakah ada doa yang lebih ‘sakti’ daripada doa semua suster di biara? Saya langsung tertidur setelah membaca SMS itu.” 
Pagi itu, bangun tidur, ajaib, perasaan saya tenang sekali. Tapi ternyata masih ada kejutan buat saya. Begitu didorong masuk ke ruang operasi, saya lihat kakak saya memakai seragam operasi lengkap. “Mas mau ngoperasi aku sendiri?” Saya agak shock. “Aku nggak sendiri kok, ada suster-suster, ada dokter anestesi,” katanya santai. “My God…!”
Setelah proses bius epidural, yang buat saya amat menyiksa (saya dibius lokal), saya dengar kakak saya memberi komando, “Oke, jam 09.00, kita mulai ya.” Setelah itu saya cuma dengar alat-alat operasi saling beradu, sambil membayangkan perut saya yang sedang disayat-sayat. Tiba-tiba saya dengar suara kakak saya agak panik, “Mana kepalanya…. Mana kepalanya….” Mati aku, anakku nggak ada kepalanya. Kecemasan seperti mau memecahkan dada saya. Tapi, ketegangan kemudian mereda. Hanya dalam waktu kurang-lebih 10 menit, suster memperlihatkan Putra kepada saya. Terima kasih Tuhan, dia ada kepalanya!”
Setelah persalinan, ada sedikit nyeri di sana-sini setelah operasi. Tapi secara umum saya dan Putra cukup sehat. Saya malah bisa menyusui Putra selama enam bulan, eksklusif. Kepada teman-teman yang lebih muda, yang kebetulan sedang sama-sama menyusui, saya suka menyemangati, “Saya yang sudah nenek-nenek saja bisa kasih ASI eksklusif. Kamu lebih muda, kamu nggak boleh kalah sama saya.”

Reaksi tak terduga
Walaupun terlihat senang-senang saja, sempat ada rasa khawatir kakak-kakaknya belum dapat menerima kehadiran Putra. Apalagi kalau saya sedang menyusui, Sasya suka bercanda (atau pura-pura bercanda?), “Adik awas, minggir. Aku mau deket Mama!” Lalu dia memaksakan tubuhnya, yang sudah lebih besar dari saya itu, berbaring di antara saya dan adiknya. Tapi tidak apa-apa. Itu jadi peringatan buat saya supaya lebih peka memperhatikan kakak-kakaknya.”
Masalah capek atau tidak, Capek sekali! Apalagi mesti bangun malam, menyusui, dan nidurin lagi. Fisik saya tidak sekuat dulu lagi. Kamu mau tahu cara saya mengatasi kelelahan? Sambil menidurkan Putra, saya terus bernyanyi. Saya nyanyikan 10 sampai 20 lagu, pasti Putra tertidur, dan saya pun ikut terlelap bersamanya.”